Sportsnews.id - Para penggemar panik dan berebut mencari jalan keluar saat Tragedi Kanjuruhan. Fian, 17 tahun, Aremania, selaku suporter Arema FC, asal Sumbermanjingkulon, Kabupaten Malang, menceritakan bagaimana ia bertahan.
Sabtu malam itu, Fian dan pacarnya menyaksikan pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya di papan skor di bawah Stadion Kanjuruhan, Malang.
Pekan ke-11 pertandingan Liga 1 berakhir dengan kekalahan tim kesayangannya dengan skor 2-3. Arema sempat menyamakan kedudukan sebelum akhirnya kalah.
Silvio Junior (8'), Leo Lelis (32') dan Sho Yamaoto (51') mencetak tiga gol Persebaya. Sedangkan dua gol Arema dicetak oleh Abel Camara (penalti 42' dan 45+1').
Dalam pertandingan tersebut, tidak ada satupun suporter Persebaya yang datang untuk menyaksikan pertandingan di Arema FC. Hal ini sesuai dengan kesepakatan antara pendukung kedua tim.
Tak lama setelah pertandingan berakhir, ribuan fans turun ke lapangan. Polisi kemudian bereaksi dengan memblokir dan menembakkan gas air mata.
Polisi tak hanya menembakkan gas air mata di tengah lapangan, tapi juga ke arah tribun penonton, termasuk bangku tempat Fian dan penonton lainnya masih berada di posisinya.
"Tembakan gas air mata. Mata perih dan sesak napas. Air mata mengalir," katanya.
Saat itu, para penggemar panik. Mereka berebut mencari jalan keluar. Penonton berdesak-desakan, bahkan ada yang terinjak-injak.
Melihat situasi seperti itu, Fian, yang juga panik, membawa teman wanitanya keluar melalui pintu darurat di sebelah kiri.
Fian menyaksikan seorang anak kecil terpisah dari orang tuanya, diselamatkan oleh anggota TNI. Dia dibawa keluar dari stadion.
"Kami di tribun diam, tidak melakukan apa-apa. Yang rusuh di bawah, kok di tribun juga ditembakkan gas air mata?," kata Fian.
Kisah Pilu Gilang, Tiga Sahabatnya Meninggal
Gilang, 22 tahun, berhasil menyelamatkan diri. Namun, tiga temannya yang menemaninya menonton pertandingan kandang Arema meninggal dunia.
Ia datang berkelompok dengan ratusan Aremania dari Jember. Mereka pergi dengan mobil dan beberapa dengan sepeda motor.
Usai pertandingan, ribuan suporter Arema FC melompati pagar dan berhamburan turun ke lapangan. "Suporter masuk ke lapangan untuk menyapa para pemain. Namun, polisi berhenti, terjadi keributan. Polisi menembakkan gas air mata," kata Gilang.
Dia dan teman-temannya tetap di tribun. Namun, tembakan gas air mata mendarat di tribun. Penonton panik, mereka berdesak-desakan untuk keluar dari stadion. "Sempit, banyak korban terlindas, terinjak-injak," katanya.
Dalam situasi itu, Gilang berhasil melompati pagar dan naik kembali ke tribun. Dia dipisahkan dari ketiga temannya dan akhirnya ditemukan tewas.
Teman prianya ditemukan tewas di ruang ganti Stadion Kanjuruhan, Kepanjen. Sedangkan dua orang lainnya, semuanya perempuan, meninggal dunia saat menjalani perawatan di RS Waha Husada, Kepanjen.
Kerusuhan tak hanya terjadi di dalam stadion, namun merembet ke luar. Pendukung membalikkan badan dan membakar kendaraan polisi. Saat itu, Gilang berhasil menyelamatkan seorang wanita yang diinjak-injak penonton. Wanita itu diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit terdekat.
“Reaksi polisi itu arogan, tidak protektif. Mengapa mengarahkan gas air mata ke penonton di tribun yang tidak membuat kerusuhan? Cukup ditaati saja," ujarnya.
Penggunaan Gas Air Mata Tidak Diizinkan
Tragedi Kanjuruhan menewaskan 125 orang menurut data yang diverifikasi. Para korban yang tewas diduga karena sesak napas akibat gas air mata yang ditembakkan polisi.
Padahal, penggunaan gas air mata di stadion sepak bola, jelas melanggar peraturan Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA). Aturan mengenai hal tersebut tertuang dalam Peraturan Keselamatan dan Keamanan Stadion FIFA dalam Pasal 19 Huruf B.
Peraturan tersebut menyatakan bahwa gas air mata dan senjata api dilarang keras dibawa ke dalam stadion, apalagi digunakan untuk mengendalikan massa.
Tidak hanya peraturan FIFA, penggunaan gas air mata juga dilarang di Amnesty International. Menurut aturan 30 Amnesty International, penggunaan gas air mata atau meriam air untuk membubarkan protes hanya dapat digunakan jika aksi massa dianggap telah meninggalkan lokasi protes.
Selain itu, gas air mata hanya dapat digunakan sebagai respons terhadap kekerasan yang meluas dan jika ada cara yang lebih terukur untuk menahan kekerasan.